“Dalam waktu dekat akan diadakan gelar barang bukti. Kalau memungkinkan di Jakarta, kalau tidak cukup di Bima,” kata Kabidpenum Polri Kombes Boy Rafli Amar kemarin.
Poros teroris Bima-Aceh itu dilacak dari Uqbah alias Muhajir alias Mijihadul Haq yang juga pendiri Ponpes Umar Bin Khatab itu. Mujihadul kini sudah didakwa melakukan permufakatan, percobaan, atau perbantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme dengan cara memberi bantuan sejumlah dana melalui Luthfi Haidaroh alias Ubaid, bendahara pelatihan militer di Aceh.
Dalam berkas tuntutan jaksa yang diperoleh Jawa Pos (Batam Pos Group), Mujihadul sekitar September 2009 datang menemui Ubaid di Jawa Timur yang ketika itu meminta tolong mencarikan dana untuk Jihad fisabilillah.
Setelah pertemuan tersebut Mujahidul menyampaikan hasil pembicaraannya dengan Ubaid kepada Ustad Choiri dan
Ustad Abrori (sudah tertangkap di Bima) mengenai kebutuhan bantuan dana untuk pesantren milik orang tua Ubaid dan dana untuk jihad fisabilillah.
Pada Desember 2009, Imron Baihaqi alias Abu Tholut alias Mustofa dan Ubaid menemui Mujihadul Haq di sebuah kantor JAT Bima, dan mengutarakan kembali perihal bantuan dana untuk jihad fisabilillah. Kemudian Mujihadul pun mencarikan dana dan mentransfer dana melalui bank.
Dana pertama yang dikirim sebanyak Rp13 juta dan yang kedua sebanyak Rp12 juta, melalui Kantor Pos Indonesia Cabang Bima ke rekening Bank Muamalat Shar-E nomor pelanggan 60192392039889901 atas nama pelanggan Sus Hidayat Permana.
Selain didakwa merencanakan dan melakukan permufakatan jahat, Mujihadul Haq juga didakwa menutupi adanya rencana tentang tindak pidana terorisme.
Akibat perbuatan tersebut Mujahidul Haq didakwa diancam pidana sesuai pasal 15 jo pasal 7 undang-undang No.15 tahun 2003 dan pasal 13 huruf (c) undang-undang No.15″ tahun 2003.
Cetak Kader Garis Keras
Sementara itu, Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali mengatakan, ponpes Umar Bin Khattab yang mencuat setelah terjadinya ledakan itu, tidak memenuhi syarat sebagai sebuah ponpes.
“Saya ingin menegaskan, pondok pesantren Bima itu bukan pondok pesantren, tapi tempat penggemblengan kader garis keras,” kata Suryadharma di sela Peringatan Harlah NU ke- 85 di Gelora Bung Karno, kemarin (17/7).
Syarat sebagai ponpes, kata dia, antara lain ada kiai yang berpengaruh, ponpes itu terbuka, dan tidak eksklusif.
Selain itu, sumber ajaran dalam sebuah ponpes juga jelas. “Pondok pesantren tidak mengajarkan kekerasan, tidak mengajarkan bagaimana santri menghunus parang, membuat bom,” urai Suryadharma.
Ciri lain dari ponpes, lanjut dia, adalah memberikan pengaruh kepada masyarakat di bidang kecerdasan, intelektual, budaya, dan pengembangan ekonomi. Misalnya adanya usaha kecil dan menengah di sekitar ponpes.
“Ciri-ciri ponpes itu tak ada di UBK,” kata Suryadharma.
Dengan kata lain, Ponpes UBK juga disebut ilegal karena tidak terdaftar di kementerian agama. “Kurikulumnya nggak jelas,” kata Suryadharma.
Ketua umum PPP itu meminta masyarakat waspada dengan kemungkinan masuknya paham-paham keagamaan yang menyimpang, terutama berkaitan dengan radikalisme.
Saat ini, kata Suryadharma, tengah dikembangkan forum komunikasi umat beragama sehingga tidak ada gesekan antarumat beragama. Sementara aparat penegak hukum diminta lebih jeli terhadap potensi aksi kekerasan. Menurutnya, ormas-ormas Islam sudah ikut bekerja untuk mencegah berkembangnya paham radikalisme.
100 Tokoh Agama Bertemu
Di tempat terpisah, tidak kurang dari seratus tokoh agama dari Kabupaten dan Kota Bima bertemu menyikapi kasus Pondok Pesantren Umar Bin Khatab (UBK) Desa Sanolo, Kecamatan Bolo, Sabtu (16/7) lalu. Para tokoh menggelar pertemuan di Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Bima.
Sejumlah tokoh yang hadir pada acara tersebut KH Abdul Gani Masykur, KH Said Amin, Ketua MUI Kabupaten Bima KH Abdurrahim Haris, Ketua MUI Kota Bima H Yasin, Ketua Lembaga Pengkajian Islam Pusat KH Muhammad Amin Jamaludin, seluruh Pimpinan Pondok Pesantren, Kepala KUA, termasuk tokoh lintas agama, alim ulama dan lainnya.
Pertemuan yang difasilitasi Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) dan Kantor Kemenag Kabupaten Bima tersebut melahirkan empat rekomendasi. Pertama, menentang keras berbagai perilaku radikalisme yang mengatasnamakan agama.
Kedua, menolak keras pola dan strategi pendidikan, pengajaran yang bermuatan radikalisme agama atau permusuhan dengan menanamkan kebencian dan permusuhan kepada sesama.
Ketiga, mendukung upaya-upaya kongkrit aparat keamanan dan penegak hukum, mengambil tindakan tegas sesuai prosedur hukum yang berlaku terhadap berbagai tindakan kriminalitas yang menimbulkan keresahan di masyarakat.
Keempat, mendukung upaya kongkrit selama ini yang telah dilakukan Bupati Bima bersama Kantor Kemenag Kabupaten dalam pembinaan agama untuk terciptanya trikerukunan umat beragama, khususnya di Kabupaten Bima.
Kepala Kemenag Kabupaten Bima Drs H Yaman H Mahmud mengatakan, pertemuan tokoh agama tersebut menyikapi peristiwa di Ponpes UBK. Peristiwa tersebut diakui dampaknya sangat luas terhadap kerukunan hidup inter, antar umat beragama maupun dengan pemerintah.
“Pascakejadian di Pondok UBK Sanolo, kerukunan hidup umat beragama dengan pemerintah, utamanya dengan penegak hukum terusik,” akunya.
Dari 45 ponpes dibawah naungan Kemenag Kabupaten Bima, Pondok UBK tidak terdapat di dalamnya. Itu berarti keberadaan pondok tersebut illegal. “Keberadaan ponpes itu untuk membina generasi bangsa yang akan mewariskan perjuangan Nabi. Kalau di dalamnya ada senjata, apalagi bom, sudah pasti itu bukan pondok,” terangnya.
H Yaman juga menjelaskan, agama apapun di dunia tidak satupun yang mengajarkan tentang kekerasan, apalagi pembunuhan. Salah besar katanya jika ada anggapan, Islam itu disebarluaskan dengan kekerasan dan ketajaman pedang. Tapi dengan kesejukan, perdamaian dan penuh kebijaksanaan.
Ketua FKUB HM Saleh Ismail mengaku pertemuan 100 tokoh agama dan lintas agama bertujuan untuk meningkatkan kerukunan inter, antar umat beragama dan antar, inter umat beragama dengan pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar