Sabtu, 03 Maret 2012

Sejarah Terbentuk / Lahirnya Kota Bima

 Kabupaten Bima berdiri pada tanggal 5 Juli 1640 M, ketika Sultan Abdul Kahir dinobatkan sebagai Sultan Bima I yang menjalankan Pemerintahan berdasarkan Syariat Islam. Peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Bima yang diperingati setiap tahun. Bukti-bukti sejarah kepurbakalaan yang ditemukan di Kabupaten Bima seperti Wadu Pa’a, Wadu Nocu, Wadu Tunti (batu bertulis) di dusun Padende Kecamatan Donggo menunjukkan bahwa daerah ini sudah lama dihuni manusia. Dalam sejarah kebudayaan penduduk Indonesia terbagi atas bangsa Melayu Purba dan bangsa Melayu baru. Demikian pula halnya dengan penduduk yang mendiami Daerah Kabupaten Bima, mereka yang menyebut dirinya Dou Mbojo, Dou Donggo yang mendiami kawasan pesisir pantai. Disamping penduduk asli, juga terdapat penduduk pendatang yang berasal dari Sulawesi Selatan, Jawa, Madura, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan Maluku.

KBRN, Bima : Pemerintah Kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), tengah berupaya mengumpulkan dokumen-dokumen penting mengenai latar belakang lahirnya daerah administratif tersebut untuk dijadikan arsip sejarah.
Kepala Kantor Arsip dan Perpustakaan Kota Bima, Hj Sri Ratnawati, mengatakan berbagai dokumen sejarah itu kini masih tersebar di sejumlah satuan kerja perangkat daerah (SKPD), karena belum adanya gedung arsip yang representatif.
"Kantor perpustakaan saja baru dibangun tiga tahun, itu pun untuk tempat koleksi buku saja, sementara untuk gedung penyimpanan arsip bersejarah belum ada sampai sekarang, sehingga fungsi yang kami jalankan masih pada tataran pelayanan perpustakaan," ungkapnya di Raba, Kamis (19/1).
Menurut dia, pengumpulan dokumen bersejarah itu perlu dilakukan agar arsip-arsip terbentuknya Kota Bima tidak tercecer dan hilang begitu saja karena suatu saat pasti akan dibutuhkan.
Selain itu, dengan adanya dokumen bersejarah, masyarakat Kota Bima di masa mendatang dapat mengetahui siapa wali kota yang memimpin daerah itu serta para camat pertama diangkat pertama kali.
Pengumpulan dokumen bersejarah dilakukan dengan melibatkan tokoh masyarakat yang ikut beperan aktif dalam pembentukan Kota Bima.
"Kami juga sudah bersurat kesejumlah SKPD terkait yang masih menyimpan dokumen asli pembentukan Kota Bima," katanya.
Selain mengumpulkan dokumen pembentukan Kota Bima, kata dia, pihaknya juga tengah berkoordinasi dengan sejumlah tokoh masyarakat Kota Bima yang saat ini merawat koleksi benda-benda peninggalan sejarah pada zaman kerajaan Bima .
"Cukup banyak benda-benda bersejarah di Kota Bima yang tersimpan di Museum  Sultan Salahudin. Kami sudah berkoordinasi dengan ibu Mariam selaku pelaku sejarah  yang ikut terlibat merawat benda-benda bersejarah itu. Ia sudah merestui niat kami untuk mengambil benda bersejarah itu," tuturnya.
Untuk mendukung upaya merawat arsip dan benda bersejarah, kata dia, Kantor Arsip dan Perpustakaan sudah meminta pengalokasikan anggaran untuk pembangunan gedung kearsipan sebesar Rp1 miliar.
"Kami berharap usulan itu disetujui karena bagaimana pun arsip bersejarah perlu ada ruang khusus untuk penyimpanan. Itu aset daerah. Kalau nanti ada permasalah di kemudian hari, terutama mengenai aset, arsip yang menjadi alat bukti," katanya.
Kota Bima awalnya merupakan kota administrasi Bima yang terbentuk pada 10 April 2002 melalui Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kota Bima.
Berbagai pertimbangan mendasari pembentukan Kota Bima yang merupakan perwujudan dari aspirasi masyarakat, khususnya masyarakat Kota Bima. Pertimbangan-pertimbangan tesebut pada dasarnya terkait dengan pertimbangan politis dan pertimbangan pengembangan ekonomi dan pembangunan regional dalam rangka mendukung percepatan pembangunan di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Ditinjau dari pertimbangan politis, terdapat dua opsi yang harus dipilih oleh Pemerintah Kota Administratif Bima sehubungan dengan berlakunya UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada saat itu.
Opsi yang pertama adalah Pemerintah Kota Administratif Bima harus menjadi kota yang otonom, sedangkan opsi kedua adalah dihapuskannya status kota administratif jika Bima tidak memenuhi ketentuan untuk ditingkatkan statusnya menjadi daerah otonom.
Memilih opsi yang kedua berarti melupakan sejarah panjang tujuh belas tahun menuju pembentukan Kota Administratif Bima.
Oleh karenanya, masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Bima harus mempersiapkan proses peningkatan statusnya menjadi daerah kota yang otonom, apalagi batas waktu proses peningkatan status ini pada saat itu hanya sampai bulan Mei 2001. (A. Yani/DS/AKS)
 

Kerajaan Bima

Kerajaan Bima dahulu terpecah–pecah dalam kelompok-kelompok kecil yang masing-masing dipimpin oleh Ncuhi. Ada lima Ncuhi yang menguasai lima wilayah, yaitu:
  1. Ncuhi Dara, memegang kekuasaan wilayah Bima Tengah
  2. Ncuhi Parewa, memegang kekuasaan wilayah Bima Selatan
  3. Ncuhi Padolo, memegang kekuasaan wilayah Bima Barat
  4. Ncuhi Banggapupa, memegang kekuasaan wilayah Bima Utara
  5. Ncuhi Dorowani, memegang kekuasaan wilayah Bima Timur
Kelima Ncuhi ini hidup berdampingan secara damai, saling hormat menghormati dan selalu mengadakan musyawarah mufakat bila ada sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama. Dari kelima Ncuhi tersebut yang bertindak selaku pemimpin dari Ncuhi lainnya adalah Ncuhi Dara. Pada masa-masa berikutnya, para Ncuhi ini dipersatukan oleh seorang utusan yang berasal dari Jawa. Menurut legenda yang dipercaya secara turun temurun oleh masyarakat Bima, cikal bakal Kerajaan Bima adalah Maharaja Pandu Dewata yang mempunyai 5 orang putra, yaitu:
  • Darmawangsa
  • Sang Bima
  • Sang Arjuna
  • Sang Kula
  • Sang Dewa
Salah seorang dari lima bersaudara ini yakni Sang Bima berlayar ke arah timur dan mendarat di sebuah pulau kecil di sebelah utara Kecamatan Sanggar yang bernama Satonda. Sang Bima inilah yang mempersatukan kelima Ncuhi dalam satu kerajaan, yakni Kerajaan Bima dan Sang Bima sebagai raja pertama bergelar Sangaji. Sejak saat itulah Bima menjadi sebuah kerajaan yang berdasarkan Hadat dan saat itu pulalah Hadat Kerajaan Bima ditetapkan berlaku bagi seluruh rakyat tanpa kecuali. Hadat ini berlaku terus menerus dan mengalami perubahan pada masa pemerintahan raja Ma Wa’a Bilmana. Setelah menanamkan sendi-sendi dasar pemerintahan berdasarkan Hadat, Sang Bima meninggalkan Kerajaan Bima menuju timur, tahta kerajaan selanjutnya diserahkan kepada Ncuhi Dara hingga putra Sang Bima yang bernama Indra Zamrud sebagai pewaris tahta datang kembali ke Bima pada abad XIV/XV.

1 komentar: